Sinopsis Cerpen Gadis Manis Di Seputar Pertigaan

 Gadis Manis di Seputar Pertigaan


Suasana dalam bus yang tadinya panas sesak, kini nyaman bagai di lembah bukit. Barisan pertokoan sepanjang jalan Teuku Umar tampak seakan melambai-lambai seraya mengucapkan selamat jalan kepada semua penumpang yang sebentar lagi meninggalkan Kota Banda Aceh ke jurusan Pantai Timur. Dia masih acuh terhadap hal-hal kecil, padahal dia baru saja mengalami sesuatau yang kurang menyenangkan. Pepohonan yang tumbuh sepanjang tepi jalan terlihat semakin cepat pula berlari menuju arah berlawanan.


Coba saja kalau dia mau cuap-cuap, pasti bibirnya yang kemerah-merahan bagai orang kepedasan itu akan bergerak-gerak menambah romantisnya perjalanan, dan suaranya yang jernih pasti akan menambah indahnya suasana di sela-sela lagu Cintaku Terbagi Dua yang disetel Bang Supir. Tadi, waktu di terminal, mahasiswa itu menyodorkan pertanyaan pembuka yang umum diajukan orang kalau berjumpa dalam bus. Namun, gadis itu menanggapi dengan jawaban yang kurang simpatik. Sebagaimana orang lain yang mendapatkan pertanyaan demikian, dia pun layaknya balik bertanya.


Maka, dengan jawaban seperti tadi, agaknya, itulah usaha bijaksana meredam keusilan laki-laki yang kebetulan seperjalanan dengannya. Mendapat jawaban demikian, suka-cita yang tadi menggelitik-gelitik jiwa mahasiswa itu langsung padam.


Gadis itu cuma menjawab, Tidak di mana-mana.  Bus hampir memasuki Saree yang mungil. Satu untuknya sendiri dan satu lagi ditawarkan pada gadis sombong di sampingnya. Namun, gadis berambut lurus setengkuk itu seketika mengeluarkan uang recehan dan membeli sebungkus untuknya sendiri.


Dengan demikian, tentu sangat berlebih-lebihan kalau mahasiswa itu menawarkan lagi keripiknya pada gadis itu. Mendapat sikap yang rada-rada kompetitif seperti itu, perasaan mahasiswa itu agak kecut. Tak sengaja bahunya sedikit menyentuh bahu gadis itu. Si gadis segera menggeser tubuhnya lebih rapat ke jendela bus dengan sikap tak acuh.


Peristiwa kecil yang semestinya cukup bermakna itu berlalu begitu saja. Di dalam bus terdengar suara krap-krup mulut penumpang yang mengunyah keripik. Ternyata Kota Kecamatan Padang Tiji yang mungil menghadang di depan. Gadis yang duduk di samping mahasiswa itu juga ikut-ikutan tertawa.


Wajah yang tadi bagai wajah serdadu di medan tempur itu, kini membentuk relief-relief sandi yang mengisyaratkan ajakan perdamaian. Mahasiswa itu melirik ke gadis tersebut dengan mata berbinar-binar, seakan-akan sesuatu yang sudah lama dicari-cari kini ditemukannya di wajah gadis itu. Mmm, sambut gadis itu mengangguk. Suka lelucon? tanya mahasiswa itu dengan semangat yang timbul kembali tanpa diduga-duga.


Suka, jawab gadis itu pendek saja. Terima kasih,

 jawab sang gadis tanpa sungkan. Lalu, dengan wajah yang sukar dilukiskan, dia merebahkan dirinya kembali ke sandaran belakang. Dia betul-betul sedang hanyut dalam khayalan tentang dirinya sebagai seorang badut tua yang tak lagi membangkitkan tawa.


Meresapi dirinya pada posisi demikian, tanpa sengaja dia mendesah disertai seringai senyum sehingga gadis itu segera menoleh ke arahnya. Anda menertawai saya?tanya gadis itu dengan wajah memerah. Lalu, apa yang Anda ketawai? gadis itu penasaran. Saya merasa Anda sedang menertawai saya. Gadis itu agaknya tersinggung.


Mahasiswa itu merasakan juga sikapnya tadi yang kurang sopan, dan lebih tak sopan lagi kalau pertanyaan terakhir gadis itu tak dijawabnya. Maka, berceritalah dia seenak mulutnya tentang apa yang membuatnya tersenyum sendiri. Anda membohongi saya! potong gadis itu, seakan-akan dia menuntut kejujuran laki-laki yang justru tak mau dikenalnya itu. Kini malah dia yang bersikap tak acuh.


Gadis itu segera memalingkan wajahnya ke luar bus, seakan hendak membuang kekesalan hatinya pada lelaki di sampingnya. Persawahan hijau dengan tanaman kacang tanah yang masih dara tak masuk dalam perhatiannya sama sekali. Kemudian, saat bus hampir tiba di depan simpang jalan kabupaten yang menuju ke Garot, dia memberi isyarat pada kernet di pintu belakang untuk menghentikan bus tepat di depan pertigaan. Ternyata Anda sama saja! ucap gadis itu ketika beranjak dari tempat duduknya.


Apanya yang sama, Nona? tanya mahasiswa itu dengan hati tak kalah bertanya-tanya. Pembohong! berkata gadis itu seraya turun. Dalam benaknya segera terlintas samar-samar sesuatu yang tersembunyi, yang melatar-belakangi kata-kata terakhir gadis itu. Yang mendasari dialog mereka bukanlah peristiwa yang berlangsung secara kronologis, bukan pula secara akrab karena persahabatan sebelumnya hingga gadis itu sungguh tidak logis kalau mengakhiri percakapannya dengan kata-kata demikian.


Agaknya ada semacam trauma pribadi yang membuatnya nekad berkesimpulan seperti itu. Berpikir-pikir demikian, tiba-tiba mahasiswa kita merasa kasihan pada gadis itu. Ketika bus berangkat kembali, dia menjengukkan kepalanya keluar jendela, ingin melihat gadis itu sekali lagi, untuk menghafal wajahnya baik-baik. Namun, sayang sekali, si gadis telah menghilang di seputar pertigaan tempat turunnya tadi.


Komentar